catatan
menggerakkan seluruh organ perusahaan. Ini sama dengan cash flow atau arus kas yang datang dari usaha (penjualan).
Nah, biasanya begitu ditinggal founder-nya, perusahaan seperti bergerak tanpa ’’roh’’. Ia menjadi tidak inovatif. Ia akan terbelenggu oleh rutinitas. Tak menciptakan hal-hal baru lagi yang menggairahkan semua pegawai. Ibarat koran ini tanpa ’’Dahlan Iskan’’ baru yang gesit dan selalu ada ide brilian, walau tak semuanya bisa digerakkan menjadi uang.
Perusahaan tanpa roh ibarat perguruan tinggi negeri yang dipimpin oleh rektor yang, maaf, numpang duduk di jabatan tertingginya. Dia hanya asyik memimpin seremoni, tak ada sesuatu yang baru dari kepemimpinannya.
Selain ada di satu dua PTN, fenomena itu juga ada di BUMN, anak-anak BUMN, atau perusda yang gagal meraih pemimpin transformasi. Tetapi, kini juga banyak di sektor swasta. Bisa jadi, BUMN atau anak-anaknya terlalu nyaman sehingga menjadi lazy company, tetapi pemimpin tahu banyak tentang sejarah dan administrasi perusahaan.
Jadi, soal pengetahuan internal, tak ada yang bisa menandinginya. Tetapi, dia tak pernah ’’melihat’’ bagaimana wujud kantornya karena tak pernah berada di luar melihat perusahaannya bila dibandingkan dengan yang lain.
Jadi, tak ada lagi perjuangan membangun hal-hal baru. Semuanya hanya meneruskan yang sudah ada saja. Bahkan yang sudah kusam, tak laku, tak relevan lagi terus dipelihara. Masih itu-itu saja yang diperdagangkan.
Zombie company akhirnya hidup dari utang atau menjual aset-aset yang ada secara bertahap (tidak revolusioner). Hanya supaya bisa bergerak. Bahkan dibiayai dengan bad debt atau cek kosong.
Siapa Mereka?
Adakah di antara zombi itu yang baik?
Tidak ada! Itu menurut sejumlah sumber. Dalam film-film science fiction selalu diceritakan, zombi yang baik itu seharusnya sudah dikubur. Jangan dibiarkan bergentayangan. Sebab, mereka akan menyebarkan rasa takut dan kesulitan bagi yang hidup dan masih punya masa depan.
Yang saya khawatirkan, di Indonesia ini, fenomena zombi semakin banyak. Sebab, bagi sebagian orang, menutup perusahaan itu sungguh memalukan. Apalagi dinyatakan pailit. Direktur-direktur dan pemegang sahamnya bisa masuk dalam daftar hitam perbankan, di-black list untuk menerima jasa-jasa.
Selain itu, ia juga dipelihara orang-orang lama karena secara pribadi aset-asetnya yang tak terpakai masih bisa mereka gunakan secara pribadi. Ruang kerja, kartu nama, fasilitas gudang, dan bisnis-bisnis turunannya. Masih ada yang bisa dipakai untuk kegiatan perorangan yang tak perlu menanggung fixed cost.
Di Negeri Matahari Terbit, fenomena perusahaan zombi sebetulnya mulai menyeruak pada 1990-an. Perusahaan-perusahaan bertahan hidup –meski tak mampu membayar kreditnya– berkat kredit murah perbankan, sikap lunak pemerintah dan kreditor. Menurut laporan Bloomberg, kreditor terpaksa bersikap lunak karena kalau mereka pailit, itu akan berdampak buruk terhadap neraca laporan keuangan kreditor.
lain
Secara sederhana, banyak orang yang paham bahwa permintaan pasar adalah fungsi dari daya beli (power) dan keinginan membeli (appetite).
Kalau soal daya beli, kita cukup bicara jumlah uang dan harga. Sedangkan keinginan membeli, dipengaruhi mood konsumen seperti berita-berita bagus atau buruk, persepsi terhadap hari esok, kejadian-kejadian yang membuat kita kehilangan appetite, retailer yang kurang promosi dan sebagainya. Maka meski uangnya ada, bisa saja seseorang menunda konsumsinya.
Bagaimana daya beli? Kalau harga-harga melambung naik, maka jelas jumlah yang bisa dibeli dengan uang yang sama berkurang. Lalu nilai penjualan yang diterima perusahaan-perusahaan pun bisa turun. Namun keuntungan yang diperoleh belum tentu jatuh.
Sebab menentukan untung atau rugi, bagi perusahaan adalah sebuah kecerdasan sendiri. Ada strategi dan ada pilihan, kecuali mereka salah urus, tak merespons bahkan menyangkal perubahan.
Tetapi pengusaha tahu, saat ini secara umum inflasi cukup rendah. Bahkan rakyatnya punya beragam pilihan yang luas. Lalu kita membaca hasil yang dicapai dunia usaha pada semester I 2017 ini walaupun tak sepenuhnya buruk, namun cukup beragam.
Banyak yang bagus, juga ada yang kurang beruntung. Ini berbeda dengan kondisi 1998-2000 yang dilanda krisis secara luas. Jadi unsur pertama ini tak terpenuhi.
Kedua, jumlah uang yang dimiliki konsumen. Misalnya Anda di-PHK perusahaan. Kalau PHK terjadi secara nasional, maka otomatis daya beli masyarakat turun. Atau, kalau pengusaha menurunkan gaji misalnya. Kejadian ini pun tak banyak terdengar. Kita hanya mendengar Sevel yang ditutup.
Pernah juga dikhawatirkan kalau subsidi-subsidi tertentu dicabut sehingga harga melambung. Atau bisa juga angkatan kerjabaru sulit mendapat pejerjaan, investasi pada sektor tertentu turun, inovasi baru mengakibatkan lapangan kerja tertentu bisa saja terbatas, persaingan global dan sebagainya.
Maka dampak inovasi pada setiap segmen tenaga kerja ini mutlak diperlukan untuk memperkuat perekonomian dan melakukan pemerataan.
Seharusnya semua itu bisa dihitung. Namun masalahnya semua berhubungan dengan asumsi yang dipegang peneliti dan kemampuan masing-masing dalam mensortir data. Sementara itu gaya hidup masyarakat berubah begitu cepat dan kurang cepat dipetakan BPS.
Note
Reviewed by blajarbanyakhal.blogspot.com
on
8:35 PM
Rating:
No comments: