https://media.neliti.com/media/publications/235005-pengembangan-kemampuan-berpikir-mahasisw-f4e39754.pdf
Kemampuan berpikir seseorang dapat dikembangkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan membaca. Membaca sebagai suatu proses pengolahan bacaan secara kritis dan kreatif yang bertujuan untuk memberoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan. dengan demikian, pembaca akan menilai isi, fungsi, dampak, dan nilai yang terdapat dalam bacaan.sebagai landasan untuk berpikir dan bernalar. Membaca melibatkan proses psikologis, proses sensoris, proses perseptual, dan proses perkembangan. Pembelajaran membaca dengan beragam teks absurd dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa sebagai sarana berpikir kritis dan kreatif untuk melakukan perenungan terhadap dirinya dan perbuatan yang telah dilakukan dalam rangka memperkuat nilai pribadi dan keyakinannya, mengganti pengalaman estetika yang sudah usang, menghindarkan diri dari kesulitan, ketakutan, kegalauan, dan lain-lain. hal itu sesuai dengan makna absurd dalam beragam teks., yakni teks yang berisi tentang kesia-siaan dan ketidakbermaknaan hidup.
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR MAHASISWA
MELALUI PEMBELAJARAN MEMBACA TEKS ABSURD
Endang Werdiningsih
Universitas Wisnuwardhana Malang
endangwerdiningsih86@yahoo.com
Abstrak
Kemampuan berpikir seseorang dapat dikembangkan dengan berbagai cara,
salah satunya dengan membaca. Membaca sebagai suatu proses pengolahan
bacaan secara kritis dan kreatif yang bertujuan untuk memberoleh pemahaman
yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan. dengan demikian, pembaca akan
menilai isi, fungsi, dampak, dan nilai yang terdapat dalam bacaan.sebagai
landasan untuk berpikir dan bernalar. Membaca melibatkan proses psikologis,
proses sensoris, proses perseptual, dan proses perkembangan. Pembelajaran
membaca dengan beragam teks absurd dapat menambah pengetahuan dan
wawasan mahasiswa sebagai sarana berpikir kritis dan kreatif untuk melakukan
perenungan terhadap dirinya dan perbuatan yang telah dilakukan dalam rangka
memperkuat nilai pribadi dan keyakinannya, mengganti pengalaman estetika
yang sudah usang, menghindarkan diri dari kesulitan, ketakutan, kegalauan,
dan lain-lain. hal itu sesuai dengan makna absurd dalam beragam teks., yakni
teks yang berisi tentang kesia-siaan dan ketidakbermaknaan hidup.
Kata kunci: pembelajaran, membaca, teks absurd.
PENDAHULUAN
Kemampuan berpikir seseorang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
perbedaan tersebut dipengaruhi banyak faktor, antara lain faktor bawaan, gizi yang kurang
baik, kecelakaan, dan lain-lain. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir tersebut dapat
dilakukan dengan melatih dan membiasakan seseorang dengan membaca. Sebagai sarana
peningkatan diri. membaca dapat mengembangkan wawasan, pengetahuan, keterampilan,
dan sikap hidup ke arah yang lebih baik.
PEMBAHAASAN
1. Pembelajaran Membaca Teks
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses perubahan tingkah laku. Pembelajaran
yang ideal apabila hasil yang diperoleh pembelajar bersifat permanen. Untuk memperoleh
hasil yang permanen, pembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa agar tidak
membosankan. Demikian halnya bahan ajar yang digunakan. Untuk pembelajaran membaca
pada orang dewasa, bahan perlu dipertimbangkan sesuaiannya dengan minat dan usia mereka.
Dengan adanya fenomena perilaku yang menyimpang, pembelajaran membaca hendaklah
menjadi kegiatan yang mengasyikan dan menyenagkan mereka agar dapat membantu
meningkatkan keyakinan dan eksistensinya sebagai manusia. Salah satu materi yang dapat
digunakan dalam pembelajaran untuk hal itu adalah pembelajaran membaca teks absurd.
54
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
Membaca merupakan proses pengolahan bacaan secara kritis dan kreatif yang
bertujuan untuk memberoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan.
dengan demikian, pembaca akan menilai isi, fungsi, dampak, dan nilai yang terdapat dalam
bacaan.sebagai landasan untuk berpikir dan bernalar (Thorndike, 1967:127). Selanjutnya,
Harras dan Sulistianingsih (1998) menjelaskan bahwa membaca merupakan proses
psikologis, proses sensoris, proses perseptual, dan proses perkembangan.
Dengan melakukan kegiatan membaca seseoang dapat melakukan penilaian dan
pemahaman terhadap apa yang telah dibacanya sebagai sarana berpikir untuk melakukan
perenungan terhadap dirinya dan perbuatan yang telah dilakukan untuk memperkuat nilai
pribadi dan keyakinannya, mengganti pengalaman estetika yang sudah usang, menghindarkan
diri dari kesulitan, ketakutan, kegalauan, dan lain-lain (Nurhadi, 1987 dan Nurhadi, 2000).
2. Pengertian Teks Absurd
Jika orang berbicara tentang sastra lakon absurd cenderung menggunakan buku acuan
legendaries karangan Martin Esslin yang berjudul The Theatre of the Absurd. Buku tersebut
baik dan sangat komprehensif, tetapi juga memiliki kelemahan. Kelemahannya karena hanya
menyebutkan nama Jacques Copeau satu kali saja. Padahal Jacques Copeau mempunyai
kontribusi cukup besar bagi terbentuknya konsep dan ideology absurdisme. Dari konsep
dramatiknya, diduga mengilhami Eugene Icnesco menulis Les Chaises, Kursi-kursi, yang
kemudian diadaptasi oleh W.S. Rendra menjadi Kereta kencana dan Oleh Bakdi Soemanto
menjadi Sepasang Merpati Tua .
Inti dari lakon itu adalah kekosongan, void, yang juga tampak pada En ettendent
Godot dan Fin de Partie, yang keduanya dikarang oleh Samuel Beckett. Konsep kekosongan
itu kemudian berkembang menjadi kehampaan arti dalam hidup, yang biasanya menjadi salah
satu ciri dari lakon-lakon yang digolongkan absurd. Absurditas berasal dari kata absurd yang
berarti mustahil, tidak masuk akal, menggelikan, menertawakan. Sedangkan absurditas
berarti kemustahilan, keadaan yang bukan-bukan. Absurd juga dapat dikatakan sebagai hal
yang menyimpang dari harmoni, tidak jelas dan tidak logis. Peristiwa absurd sebagai hal-hal
yang betapa pun ganjil dan gilanya bagi akal yang lurus namun ia ada dalam kehidupan
sehari-hari.
Bila dikaitkan dengan eksistensialisme, absurditas merupakan sebuah situasi yang
mengancam eksistensi. Heidegger menyatakan bahwa sifat pasti dan terbatas dari eksistensi
manusia lebih awal adanya daripada manusia sendiri. Oleh sebab itu, muncul kecemasan
(angst) dalam diri manusia. Namum menusia berusaha melenyapkannya dalam dirinya
sendiri, walaupun kadang muncul ketakutan ketika manusia sedang merenungi tentang
kematian yang akan terjadi pada dirinya. Kesadaran adanya kematian itu merupakan
paQJJLODQ NHSULKDWLQDQ GDQ ³HNVLVWHQVL PHPEHULNDQ VXDWX SDQGDQJDQ NKXVXV GHQJDQ
perantaraan kesadaran. Eksistensi berpendapat bahwa manusia tidak boleh terlelap, tetapi
harus tetap terjaga samapai mati. Ia berjalan di antara puing-puing, Maksudnya manusia tidak
boleh lupa akan keberadaannya di dunia fana ini.
Dijelaskan bahwa jika seseorang menuduh orang lain tanpa disertai pemikiran yang
jernih (asal menuduh) itu merupakan suatu kejahatan. Tentu jawaban yang keluar dari mulut
si tertuduh adalah jawaban yang tidak masuk akal, sehingga jawaban yang diucapkan bersifat
absurd, karena kemarahan itu memiliki kontradiksi antara tindak tutur yang dilakukan oleh
penuduh terhadap tertuduh yang mungkin bertolak belakang. Absurd itu selalu berkaitan
dengan hal-hal yang tidak masuk akal, aneh, nisbi, mustahil, tidal logis, dan lain-lain.
55
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
Dari banyak kasus, mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks,
absurditas akan semakin besar manakala unsur-unsur pembandingnya bertambah. Perasaan
absurditas muncul dari perbandingan antara keadaan nyata dengan keadaan abstrak/semu,
antara suatu tindakan dan dunia yang mengatasinya. Keadaan absurd pada hakikatnya
merupakan suatu penceriaan. Jadi absurd itu terdapat dalam diri manusia dan di dunia
bersama-sama.. Sementara itu absurditas adalah satu-satunya ikatan yang menyatukan
keduanya.
Seseorang dalam posisi absurd apabila ia sedang berada dalam kepatuhan serta
penyerahan total atas ketidakmampuannya menemukan penyelesaian secara rasional. Dengan
demikian, suatu pernyataan yang emosional dapat disebut pernyataan absurd apabila itu
adalah pernyataan seorang manusia yang berada di hadapan Tuhan. Contoh lain absurditas
adalah perilaku manusia di luar batas kewajaran. Misalnya: melakukan penyiksaan terhadap
orang lain yang akhir-akhir ini sering dilakukan orang di tempat-tempat umum. Mereka yang
melakukan itu pada hakikatnya tidak dapat menyelesaikan masalahnya secara rasional yang
memuaskan jiwanya. Ia merasa tak berguna, sepi, hampa, takut dan sebagainya.
Absurditas dalam pandangan Jean Paul Sartre adalah perasaan muak yang hadir
dalam diri manusia karena kurangnya manusia itu sendiri dalam memaknai keberadaannya di
lingkungan/tempat tinggal di dunia ini, sehingga mendatangkan sekumpulan realitas hitam
yang tidak bisa membahagiakan dirinya. Ketika manusia merasakan kehampaan,
ketidakjelasan dan ketidakteraturan serta rasa takut dan rasa sakit dalam dirinya karena
kehadiran eksistensi di sekitarnya. Ada beberapa absurditas yang mengejahwantah dalam
kehidupan manusia, yaitu tanggung jawab, berbagai perasaan frustasi, perasaan cemas,
merasa ketakutan, merasa dirugikan, perasaan ingin memberontak terhadap keadaan, dan
lain-lain yang tidak bisa diterangkan secara rasional dalam tindakan yang direncanakan
manusia.
Jika manusia tercipta dengan sendirinya, maka pada hakikatnya manusia itu
berkeinginan menjadikan dirinya sebagai yang maha sempurna dan seringkali menghakimi
dirinya sendiri sebagai Tuhan dalam tidakan-tindakannya. Akan tetapi, keinginan itu tidak
semuanya tercapai sehingga mereka merasa kehidupannya sia-sia seperti halnya keseluruhan
eksistensi manusia. Selanjutnya, mereka sering melakukan perbuatan yang tidak masuk akal
budi, misalnya naik pada suatu ketinggian atau bahkan bunuh diri. Pada akhirnya, jika
seseorang sering melakukan sesuatu, maka ia akhirnya menyadari bahwa kehidupannya
adalah hasrat sia-sia;
Absurditas hanya mempunyai nilai dalam suatu keseimbangan, dan akan berada
dalam perbandingan, bukan dalam masing-masing unsur perbandingan itu. Absurditas
muncul pada pertemuan antara nalar efektif yang terbatas dengan irrasionalitas yang hadir
kembali pada diri manusia. Hukum-hukum alam dapat berlaku sampai batas-batas tertentu,
sedangkan di luar batas itu hukum alam berbalik melawan dirinya sendiri dan melahirkan
absurditas. Manusia absurd selalu mengakui pergulatan, tidak merendahkan nalar secara
mutlak, dan juga mengakui ketidakrasionalan.
Pada hakikatnya dunia ini adalah absurd. Ada banyak kebenaran, akan tetapi tidak
ada yang benar apalagi sempurna, sebab mereka beranggapan bahwa dunia adalah sesuatu
yang tidak terjelaskan. Alasan mereka pun benar, karena sampai kapan pun manusia di dunia
ini tidak akan dapat menemukan kesempurnaan, karena sempurna itu hanya milik sang
Khalik yang menciptakan alam dan seisinya. Maka jika terlalu berharap untuk sempurna
dalam segala hal, ia (manusia) akan mengalami perasaan yang tidk puas, dan terjadilah
absurditas pada dirinya.
56
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
Kita ambil contoh absurditas dalam diri manusia yang namanya perempuan. Seorang
perempuan kecil, ia sekolah dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ia sudah
mengantongi jenjang pendidikan yang paling tinggi. Ia punya suami, punya anak, bahkan
sudah punya cucu (seperti penulis), punya rumah dengan segala kemewahan, ia punya
jabatan, akan tetapi ia tetap memiliki hasrat yang lebih dari apa yang telah ia miliki. Jika di
dalam dirinya selalu merasa tidak puas terus-menerus, pada akhirnya ia akan mengalami
absurditas dalam dirinya. Tinggal bagaimana ia memilah-milah rasa yang dimilikinya dan
menempatkan dirinya sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini.
Dengan demikian, ia akan dapat mengendalikan dan menata perasaan tidak puas itu ke dalam
sendi-sendi kehidupan yang bermakna bagi dirinya dan juga bagi orang lain.
Dalam bereksistensi, manusia terbuka bagi dunianya dan dunia sesamanya.
Keterbukaan ini bersandar kepada tiga hal azasi, yaitu befindlchkeit atau kepekaan, versthen
atau mengerti, dan rede atau kata-kata atau hal berbicara.
3. Tema-tema Teks Absurd
Tema yang dijadikan bahan kajian aliran absurd adalah kesejarahan, pertentangan,
keterasingan, penderitaan, kegagalan, kegalauan, kecemasan, kematian, Kesejarahan
merupakan suatu kefaktaan yang selalu menjadi pertumbuhan bagi pengambilan keputusan
yang besar. Berdyacv menganggap kesejarahan adalah suatu penghayatan manusia terhadap
eksistensinya sebagai kebebasan. Alam dan sejarah mendahului manusia sebagai hal untuk
meunjukkan kebebasan manusia. Manusia bukan bagian dari Kesejarahan tetapi Kesejarahan
merupakan bagian dari manusia. Dengan demikian manusia tidak hanya pasrah pada
Kesejarahannya sebab ada dua unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu unsur destruktif dan
kreatif. Unsur destruktif mengikat manusia pada masa lampau sehingga mereka tidak berdaya
untuk mengubahnya, sedangkan unsur kreatif membuka kesempatan bagi manusia untuk
mewujudkan cita-citanya.
Ada beberapa konsep dimensi waktu dalam Kesejarahan yang meliputi (1) waktu
kosmis, yaitu waktu yang dihayati berkaitan dengan gejala-gejala alam ; (2) waktu
kesejarahan, waktu yang merentang antara apa yang terjadi dan prospeknya pada masa depan,
dan (3) waktu sebagai penghayatan eksistensial, yaitu waktu dari alam subjektivitas. Dimensi
yang ketiga ini mempelajari masa lampau sebagai sesuatu yang objektif dan tidak
menghiraukan kepribadian sebagai subjektivitas.
Berikutnya adalah tema-tema pertentangan merupakan hal yang tidak dapat dihindari
dan diramalkan sebelumnya. Pertentangan dapat didefinisikan sebagai hubungan antarpribadi
yang berbalik arah, berselisih negatif, atau berlawanan kutub yang memiliki kencendrungan
sebagai objek dan subjek. Pertentangan ini berhubungan dengan tema akan orang lain. Bagi
Sastre orang lain merupakan neraka sebab ada-ku untuk mereka dapat menjatuhkan dirinya
dalam kehampaan sebagai objek. Orang lain juga menjadi kematian yang tersembunyi akan
kemungkinan-kemungkinan.
Pertentangan sebagai konflik diakibatkan relasi manusia. Konflik adalah inti dari
relasi intersubjektif yang disebabkan oleh kesadaran sebagai pusat dunia berhubungan
terbalik bagi setiap subjek untuk mengobjektivitas yang lain. Inilah sebabnya segala relasi
dengan orang lain berakar pada konflik). Konflik akan selalu ada dalam kebersamaan,
berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial (homosostus) yaitu manusia
sebagai keberadaan bersama.
Tema lain, yakni keterasingan dalam absurditas merupakan suatu perasaan kurang
bisa menatu dengan alam dan masyarakat sekitarnya. Keterasingan itu muncul sebenarnya
57
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
merupakan hukum alam atas diri manusia terhadap penghargaannya terhadap sekelilingnya.
Manusia akan merasa terasing apabila ia tidak dapat bereksistensi di dalam kehidupannya.
Bereksistensi berarti ia harus dapat menunjukkan keberadaannya bagi alam dan masyarakat
di sekelilingnya.
Karl Jaspers menjelaskan bahwa penderitaan digolongkan dalam situasi batas yang
dapat merusak dasein manusia sedikit demi sedikit. Penyakit, ketegangan, putus asa,
perbudakkan, dan kelaparan adalah wujud penderitaan yang kesemuanya cenderung
destruktif. Kita bisa untuk melawan sejauh mungkin, tetapi semua pasti mendapat bagian.
Namun penderitaan dapat pula menjadi pendorong bagi eksistensi untuk terus berkembang.
Bila penderitaan itu diterima sebagai nasib, manusia tidak akan mencoba untuk melarikan
diri. Ia akan tumbuh sebagai diri sendiri dan bukan orang yang selalu mengharapkan
keberuntungan sebab hal itu dapat membuatnya menjadi dangkal. Ada pula yang
mengatakan, meskipun berbeda-beda cara seseorang menanggung deritanya dibandingkan
dengan orang-orang lain, namun tidak ada jalan keluar dari kenyataan bahwa penderitaan
adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh diri sendiri, dan tidak bisa dipertukarkan dengan
orang lain.
Dalam Psikologi Eksistensial, dinyatakan bahwa para eksistensialis menganggap
kesepian dan keterasingan adalah suatu masalah. Keduanya bersumber pada kekosongan jiwa
yang dialami oleh individu dengan berbagai bentuk perasaan yang mengikutinya seperti
jenuh, takut, dan gelisah. Individu juga mengalami keputusasaan dengan sesama dan
kehilangan kontak dengan alam serta tuhan. Ia tinggal sendiri dalam individualitasnya dan
hanya berhubungan dengan diri sendiri. Bagi kebanyakan orang yang tertimpa kesepian akan
menemukan dirinya tak berdaya, tidak berharga dan kehilangan gairah hidup.
Tema berikutnya adalah keterasingan. Keterasingan terjadi di dalam tubuh manusia
sendiri karena merasa bahwa orang lain akan merampas dunianya sendiri dengan
menyertakan ketubuhan kita sebagai bagian dari dunianya. Keterasingan antara diri kita
dengan tubuh sendiri membuat kita kehilangan penguasaan terhadap ketubuhan kita. Hal itu
ditemui orang lain lewat penampakkan dan gerak gerik tertentu yang terobjektivikasi.
Di samping keterasingan, ada juga gejala lain yang ada pada diri manusia yang
dikaitkan dengan kondisi absurd, yakni kesepian. Orang yang mengalami kesepian adalah
orang yang menemukan dirinya papa. Rollo May memandang kekosongan sebagai kondisi
yang tidak mengetahui lagi apa-apa, baik keinginannya akan kekuasaan pengalamannya yang
menghadapkan individu pada penyerahan diri terhadap orang lain. Dalam kesendirian inilah
individu mengalami ancaman kehilangan diri atau keberadaanya.
Selanjutnya, kaum eksistensialis tidak percaya pada kekuatan hasrat dan nafsu. Kaum
eksistensialis tidak akan menerima bahwa manusia dapat memperoleh bantuan dari tandatanda tertentu yang secara istimewa dikirimkan ke dunia untuk memberikan arahan kepada
manusia, karena seharusnya manusia sendiri yang dapat menafsirkan semua tanda-tanda
untuk dipilihnya Kegagalan yang dimaksudkan di sini adalah kegagalan dalam
bereksistensi, dalam mengada dan menjadi diri sendiri secarah utuh. Kegagalan adalah bagian
dari hidup manusia karena selalu berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan. Kenyataan
yang terjadi di dunia ini adalah adanya keterbatasan manusia. Di samping itu, yang perlu
dihayati dan diyakini bahwa perlawanan tidak bisa menghasilkan segalanya yang diharapkan.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap perlawanan manusia akan menemui kegagalan, bahkan
kandas pada pelabuhan maut.
Dalam pandangan Karl Jaspers, dasein manusia gagal dalam kehancurannya,
pemikiran manusia gagal pada batas-batas yang tidak bisa dilewati, dan tindakan manusia
58
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
gagal karena tujuan terakhir tidak pernah muncul. Segal sesuatu yang positif ternyata terikat
pada yang negatif, seperti kelihatan dalam situasi batas. Eksistensi gagal karena semakin
besar kebebasan, semakin jelas bahwa kebebasan akhirnya berhenti.
Tema terakhir yang sering dibicarakan adalah tema kematian. Kematian merupakan
wujud absurditas karena ia tiba di luar dugaan kita. Kita tidak bisa memilih tibanya maut
sebab maut merupakan suatu kepastian. Maut adalah akhir dari sbuah eksistensi. Maut
sebagai kefaktaan merupakan batas bagi kebebasan yang berada di luar situasi batasnya.
Sebagai manusia yang beriman kita tahu bahwa maut sebagai puncak absurditas yang
mengakhiri keberadaannya kembali pada ketiadaan. Dalam menghadapai kematian dan
absurditas kehidupan lainnya, menusia dapat digolongkan menjadi dua tipe, yakni manusia
absurd dan manusia yang menyadari absurditasnya. Manusia absurd adalah manusia yang
tidak dapat berbuat kecuali menggeluti absurditas yang dihadapi. Sikap yang diambilnya
adalah sikap yang sesuai dengan keadaan manusia yang khas. Menurut mereka kematian
merupakan kodrat manusia serta situasi dan kondisi yang menentukan keberadaan manusia.
Manusia yang menyadari absurditasnya adalah manusia yang menganggap kematian
merupakan pembunuhan terhadap eksistensinya. Dalam menghadapi fakta yang bersifat
mutlak ini ada dua kemungkinan dalam menyikapinya. Pertama, mereka menjadi putus asa
dan memilih untuk mengakhiri hidupnya yang dianggap sia-sia dengan bunuh diri. Kedua,
manusia tersebut akan melakukan pemberontakan sebagai wujud perlawanan terhadap
kematian.
4. Teks Absurd dalam Sastra
Karya sastra diciptakan dalam berbagai bentuk dan aliran sesuai dengan nilai-nilai
yang dianut para penulisnya. Bentuk-bentuk itu di antaranya, puisi, prosa, dan drama. Puisi
terbagi dalam puisi lama, puisi baru, dan puisi moderen. Prosa terdiri atas prosa liris, roman,
novel, cerpen, dan juga drama. Sebagai karya kemanusia, sastra memiliki demensi yang
majemuk. Sastra bersifat subjektif, merupakan hasil rekaan (imajinatif), dan mengutamakan
perasaan dan keindahan. Akan tetapi bukan berarti sastra menyampingkan objektivitas, fakta,
rasio, dan ide. Sastra sebagai menifestasi kehidupan manusia secara otonom dan tampil
sebagai karya yang utuh. Berbagai hal yang terpadu dalam karya sastra seperti pilihan kata
sebagai keindahan bahasa, konflik batin manusia, moral, ketepatan ekspresi, keserasian, dan
lain-lain.
Setiap karya sastra memiliki pandangan hidup yang menampakkan adanya
kebenaran. Kebenaran dalam karya sastra merupakan manifestasi filsafat dalam bentuk
konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam karya sastra. Jika kita
mau memperhatikan hakikat seni , termasuk di dalamnya sastra pada dasarnya indah dan
bersifat benar. Ada juga yang beranggapan bahwa sastra tidak memberi sumber informasi
yang aktual, akan tetapi memberi kenikmatan dan menghadirkan kebenaran.
Di samping itu, karya sastra juga memiliki batasan-batasan tertentu. Unsur batasan
tersebut antara lain: (1) isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, pengetahuan,
gagasan, motivasi, keyakinan, dan lain-lain, ekspresi atau ungkapan, yakni upaya
mengeluarkan sesuatu dari dalam diri manusia, (3) Bentuk, yaitu dalam wujud prosa, puisi,
dan drama, (4) ciri khas pengungkapan bentuk dalam sastra adalah bahasa. Bahasa adalah
bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi atau pengalaman orang lain dalam bentuk
yang indah.
Dari berbagai karya sastra itu masing-masing memiliki atau menganut aliran yang
berbeda-beda antara sastrawan yang satu dengan dengan yang lainnya. Di antaranya ada yang
59
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
menganut aliran absurd, baik puisi, prosa, maupun drama. Absurditas dalam puisi dapat
dilihat pada karya-karya Wiji Tukul yang berjudul Momok Hiyong atau Aku Ingin Jadi
Peluru. Dalam puisinya Momok Hiyong, Wiji menuliskan perasaan marahnya kepada
penguasa pada waktu itu, yakni pemerintahan pada zaman orde baru. Kemarahan itu tertuang
dalam kata-kata berikut ini.
Momok hiyong si biang kerok, paling jago bikin ricuh,
Kalau situasi keruh, jingkrat-jingkrat ia bikin kacau dia ahlinya,
Akalnya bulus, siasatnya ular, kejamnya sebanding Nero, sefasis Hitler, sefeodal raja
kethoprak, luar biasa cerdasnya, di luar batas culasnya
.........................................................................................
Dari kutipan tersebut semua orang bisa memahami betapa marahnya penulis kepada
yang berkuasa pada waktu itu. Tampak jelas absurditasnya pada puisi tersebut. Penulis
mengungkapkan kemarahannya dengan menggunakan bahasa (kata-kata) yang cenderung
sarkasme, sedangkan pada puisi Aku Ingin Jadi Peluru, penulis cenderung mengungkapkan
kegelisahannya dan kesadarannya akan Tuhan membuat ia menyesali dosa-dosanya. Seperti
tampak pada kutipan puisinya berikut ini.
Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa, dan aku jarang pulang,
Katakan, ayahmu tak ingin jadi pahlawan, tapi dipaksa menjadi penjahat oleh penguasa
yang sewenang-wenang
Kalau mereka bertanya, apa yang dicari, jawab dan katakan, dia pergi untuk merampok
haknya, yang dirampok dan dicuri.
Hari demi hari, tanggal, demi tanggal gelisahku, kisah demi kisah tunggal, gelisahku,
dosa demi dosa mengental Tuhanku. .......................................
Selanjutnya, absurdtitas dalam prosa dapat dilihat pada cerpen-cerpen Danarto.
Berikut ini penggalan dari cerpen yang pernah dipentaskan oleh Teater Size Padang dengan
EHUMXGXO¥0HQMDGL0DQXVLDGL7DPDQ¥
..............................................................................................................................................
Seorang laki-laki tua menyeret tubuhnya yang renta menuju taman yang kosong. Senja mulai
turun. Di atas sana awan gelap bertanda hujan, terlihat. Guruh bersahutan dari jauh. Orang tua
(Muslim Noer) terus mengitari taman yang sepi. Tak lama berselang lelaki setengah baya
(Fauzul el Nurca) tampak ada kesombongan dalam langkahnya menuju taman. Sejenak
mereka asyik dengan pikiran masing-masing.
¥7LGDNWLGDN<DQJWXDPHVWLWDKXGLULGDQPDXPHQJDODK,QLPXVLPNHPDUDX¥
¥WLGDNWLGDN<DQJOHELKPXGDPHVWLWDKXPHQJKRUPDWL\DQJOHELKWXD,QLPXVLPKXMDQ
Penggalan dialog kedua tokoh orang tua dan lelaki setengah baya itu membuka
perdebatan WHQWDQJSRVLVLPDQXVLDGDQMXJDDEVXUGLWDVNHEHUDGDDQ¥PXVLP¥ VHFDUD IDNWXDO
memang tampak hujan akan turun, tetapi dalam pandangan berada dan tidak berada, malah
sebaliknya.perdebatan tentang musim selanjutnya membuka cerita manusia-manusia yang
tidak pernah kunjung selesai. Ada kegetiran dan tragik di dalamnya.
Bagaimana halnya dengan absurditas dalam drama? Drama absurd merupakan bagian
dari drama kontemporer yang salah satu cirinya adalah bersifat serba anti, seperti ant
realisme, anti rasionalisme, dan antimaterialisme.
60
LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 53-60
SIMPULAN
Sesuai dengan fungsi dan tujuan membaca, pembelajaran membaca teks absurd dapat
dilakukan sebagai sarana memperdalam nilai-nilai keagamaan dan mengurangi kecemasan,
ketakutam, kegalauan para remaja untuk menghindarkan dari perilaku menyimpang yang
dapat merugikan mereka. Dengan demikian, membaca teks absurd dapat mengembangkan
kemampuan bemampuan berpikir seseorang untuk meningkatkan kreativitas dalam mengolah
perasaan yang tengah dihadapinya.
DAFTAR PUSTAKA
Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: Grafindo
Camus, Albert. 2000. Pemberontak. Terjemahan: Max Arifin. Yogjakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Pusat Bahasa Jakarta: Dediknas.
Hadiwijoyo, Harun. 1980. Sejarah Filsafat Barat. Yogjakarta: Kanisius.
Hammersma, Harry. 1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Moderen. Jakarta: Gramedia
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.
Nurhadi, 2000. Pendalaman Materi Indonesia 4 (Pembelajaran Membaca Kritis dan
Kreatif di MTs).
Martin, 2001. Filsafat Eksistensialisme. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
No comments: